Pernah nggak sih kamu ketemu orang yang kalau lihat sesuatu langsung bilang,
“Ini salah!” atau “Ini benar!”
atau perdebatan panjang dalam 1 dekade ke belakang :
“Ini sunnah!” atau “Ini bid’ah!”
Tanpa mau mikir dulu konteksnya, dalilnya, atau bahkan tanpa mau nanya lebih jauh?
Nah, itu yang disebut binary thinking — cara berpikir hitam-putih.
Apa itu Binary Thinking?
Binary thinking itu cara berpikir yang cuma mengenal dua sisi ekstrem: benar vs salah, baik vs buruk, setuju vs tidak setuju.
Padahal dunia ini tuh lebih luas dari dua kotak itu.
Manusia, ilmu, bahkan agama pun — semuanya punya gradasi dan konteks.
Tapi sayangnya, banyak orang (termasuk saya dulu) yang belum terbiasa mikir dengan cara spectrum thinking — cara berpikir yang melihat berbagai sudut dan tingkat kebenaran.
Pengalaman Pribadi: Dulu Saya Juga Begitu
Dulu waktu kecil, saya sering banget judging.
Kalau ada orang sholat tapi basmalah-nya dikeraskan, saya langsung bilang,
“Itu salah, harusnya pelan!”
Atau kalau ada yang sujud lutut duluan, saya juga cepat bilang,
“Itu salah, harusnya tangan dulu!”
Padahal ternyata… semua itu nggak sesederhana itu.
Ada perbedaan dalil, ada ragam pendapat ulama, dan semuanya punya landasan ilmiah masing-masing.
Saya aja dulu yang kurang ilmu, tapi sudah berani ngecap “salah”.
Dari situ saya sadar, banyak hal dalam hidup ini ternyata nggak biner, tapi spektrum.
Dulu Saya Pikir Hebat Itu Harus Serba Bisa
Saya juga pernah punya pola pikir yang sama di bidang pendidikan.
Dulu saya berpikir bahwa orang hebat itu harus pintar di semua pelajaran.
Kalau ada teman yang cuma jago di matematika tapi pelajaran lain tertinggal, saya pikir,
“Ah, dia culun.”
Kalau ada teman yang punya bakat seni luar biasa, tapi nggak terlalu bagus di akademik, saya sempat mikir,
“Ngapain sih? Buang-buang waktu.”
Atau kalau ada teman yang berbakat atletik, sering izin karena pertandingan atau latihan intensif, saya sempat merasa kasihan,
“Wah, dia nggak bisa belajar kayak kita.”
Padahal… ternyata sayanya yang salah paham.
Saya nggak ngerti waktu itu bahwa manusia punya kecerdasan yang beragam,
dan konsep “minat dan bakat” itu real, bukan omong kosong.
Ada orang yang memang diberi Allah potensi berpikir logis, ada yang artistik, ada yang kinestetik, ada juga yang interpersonal.
Sekarang saya sadar, dulu saya cuma melihat dunia dengan kacamata sempit:
“Pintar itu hanya yang dapat nilai bagus.”
Padahal realitasnya jauh lebih luas — setiap orang punya bentuk kehebatan berbeda.
Contoh di Dunia Nyata: Islamic Montessori Disalahpahami
Di Albata, kami pernah juga menghadapi kritik dari beberapa orang.
Katanya,
“Islamic Montessori itu ngawur, mencampuradukkan akidah!”
Setelah kami telusuri, ternyata si pengkritik ini nggak paham konteks.
Dia cuma tahu bahwa Montessori berasal dari Maria Montessori, yang memang orang gereja.
Lalu langsung disimpulkan, “berarti ajarannya campur agama dong!”
Padahal faktanya, dalam metode Montessori nggak ada sama sekali unsur akidah Nasrani.
Montessori adalah pendekatan ilmiah terhadap pendidikan anak, bukan ideologi agama.
Dan di Albata, kami justru “mengislamisasikan” pendekatan itu — menjadikannya media untuk menanamkan nilai-nilai tauhid dan adab Islam sejak dini.
Kalau saya dulu masih berpikir biner, mungkin saya juga bakal langsung tersinggung atau membalas keras.
Tapi alhamdulillah, Allah kasih taufik untuk bersikap lebih hikmah:
“Mungkin dia belum paham. Kita kasih uzur, mungkin belum belajar.”
Itu jauh lebih menenangkan.
Sudut Pandang Ilmiah: Kenapa Otak Suka Hitam-Putih?
Menurut psikologi kognitif, binary thinking muncul karena otak manusia suka jalan pintas.
Daniel Kahneman (pemenang Nobel di bidang ekonomi perilaku) menyebutnya sebagai “System 1 Thinking” — cara berpikir cepat, otomatis, dan emosional.
Otak kita itu secara alami nggak suka kerumitan.
Ketika dihadapkan pada sesuatu yang ambigu atau kompleks, otak cenderung menyederhanakan jadi dua kategori:
aman vs bahaya,
benar vs salah,
kita vs mereka.
Dalam jangka pendek, cara berpikir ini menghemat energi mental. Tapi dalam jangka panjang, itu bisa bikin kita sulit berkembang, tertutup terhadap ide baru, dan mudah salah paham.
Budaya Indonesia yang menjunjung harmoni dan menghindari konflik juga memperkuat pola ini.
Karena nggak enak berdebat, orang lebih memilih berpikir simpel: “Pokoknya begini aja.”
Padahal, kematangan berpikir justru lahir dari kemampuan menahan ketidakpastian dan melihat banyak sisi sebelum menilai.
Ini Bukan Anti-Tesa dari Hadis “Yang Benar Itu Jelas, Yang Salah Itu Jelas…”
Sebagian orang mungkin bilang,
“Lho, bukannya Nabi ﷺ bersabda: yang halal itu jelas, yang haram itu jelas?”
Betul banget. Hadis itu shahih dan menjadi prinsip dasar dalam syariat.
Tapi berpikir spektrum bukan berarti mengaburkan batas halal-haram.
Bedanya ada di level persoalan:
- Kalau urusannya aqidah, halal-haram, dan prinsip pokok agama, maka memang binary thinking dibutuhkan — jelas batasnya.
- Tapi kalau urusannya ijtihadiyah, konteks sosial, cara berpikir, atau perbedaan cabang, maka spectrum thinking justru penting — biar kita nggak gampang men-judge orang yang punya pandangan berbeda tapi masih dalam koridor syariat.
Dengan kata lain:
Islam mengajarkan kita tegas dalam prinsip, tapi lembut dalam perbedaan.
Para ulama dulu juga mencontohkan hal ini. Mereka bisa berbeda pendapat tajam, tapi tetap saling menghormati karena memahami spektrum kebenaran ijtihad.
Jadi berpikir spektrum bukan menolak hadis, tapi justru mempraktikkan adab berilmu — menempatkan sesuatu sesuai kadarnya.
Hidup Nggak Sesederhana Hitam-Putih
Kadang orang yang kamu anggap “salah”, bisa jadi sedang berproses.
Kadang hal yang kamu anggap “buruk”, bisa jadi bagian dari kebaikan yang belum kamu pahami.
Dan kadang “benar”-mu pun bisa jadi salah kalau konteksnya berubah.
Berpikir spektrum bukan berarti relativis (semua dianggap benar),
tapi sadar bahwa kebenaran seringkali punya lapisan dan konteks.
Muhasabah
Semakin luas wawasan, semakin sedikit kita nge-judge.
Semakin dalam ilmu, semakin lembut cara kita menilai.
Dan semakin kita dekat dengan Allah, semakin kita sadar…
bahwa tugas kita bukan menghakimi, tapi memahami.